Selasa, 10 November 2015



FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PERILAKU MAKAN PADA PENDERITA HIPERTENSI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BANJARSARI 
METRO UTARA TAHUN 2013 

Oleh 
Ludiana, SKM., M.Kes
Dosen Akper Dharma Wacana Metro

Silahkan Unduh di SINI
PENGARUH DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP PERILAKU MAKAN PADA PENDERITA HIPERTENSI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PUJOKERTO 
KECAMATAN TRIMURJO LAMPUNG TENGAH 
TAHUN 2011

Oleh 

Ludiana
Akademi Keperawatan Dharma Wacana Metro

Silahkan Unduh di SINI

Minggu, 08 November 2015

GERD
Refluks gastroesofageal sebenarnya merupakan proses fisiologis normal yang banyak dialami orang sehat, terutama sesudah makan. PRGE atau Penyakit refluks gastroesofageal (gastro-esophageal reflux disease/GERD) adalah kondisi patologis dimana sejumlah isi lambung berbalik (refluks) ke esofagus melebihi jumlah normal, dan menimbulkan berbagai keluhan. Refluks ini ternyata juga menimbulkan symptoms ekstraesofageal, disamping penyulit intraesofageal seperti striktur, Barrett's esophagus atau bahkan adenokarsinoma esophagus. PRGE dan sindroma dispepsia mempunyai prevalensi yang sama tinggi, dan seringkali muncul dengan simptom yang tumpang tindih sehingga menyulitkan diagnosis. Para ahli sepakat memisahkan dispepsia tipe refluks dari dispepsia dan menjadikan penyakit tersendiri bernama penyakit refluks gastroesofageal (Suzanna, 2014 paragraf ke satu).

Prevalensi PRGE di Asia, termasuk Indonesia, relatif rendah dibanding negara maju. Di Amerika, hampir 7% populasi mempunyai keluhan heartburn, dan 20%-40% diantaranya diperkirakan menderita PRGE. Prevalensi esofagitis di negara barat berkisar antara 10%-20%, sedangkan di Asia hanya 3%-5% pertahun, terkecuali Jepang dan Taiwan yang mencapai 13-15% kasus pertahun. Tidak ada predileksi gender pada PRGE, laki-laki dan perempuan mempunyai risiko yang sama, namun insidens esofagitis pada laki-laki lebih tinggi (2:1-3:1), begitu pula Barrett's esophagitis lebih banyak dijumpai pada laki-laki (10:1). PRGE dapat terjadi di segala usia, namun prevalensinya meningkat pada usia diatas 40 tahun (Suzanna, 2014 parageraf ke dua)

 DEFINISI


Gastroesofageal refluks disease adalah suatu keadaan dimana terjadi disfungsi sfingter esofagus bagian bawah sehingga menyebabkan regusgitasi isi lambung ke dalam esofagus, makanan yang kembali dari lambung ke esofagus tersebut mungkin masuk kembali ke dalam lambung atau dikeluarkan melalui mulut menyerupai muntah (Suraatmaja, 2010: 229 ).

Gastroesofageal refluk desiase adalah kembalinya isi lambung ke esofagus atau lebih proksimal. Isi lambung tersebut bisa berupa asam lambung, udara, maupun makanan (Muttaqin & Sari, 2011: 285).

Gastroesofagus refluks disease (GERD) adalah aliran balik isi lambung ke esophagus atau kondisi kronis dengan eksaserbasi sering yang mungkin mengakibatkan morbiditas yang signifikan sepanjang waktu jika tidak diatasi dengan tepat (Black & Hawks, 2014: 81).

ETIOLOGI 


Black & Hawks (2014: 81) mengungkapkan bahwa penyebab GERD sampai saat ini tidaklah jelas. Material refluks menyebabkan mekanisme pertahanan mukosa esophagus natural menjadi dipenuhi oleh paparan asam klorida, enzim pankreatis, dan pepsin. Jika LES (Lower Esophageal Sphincter) dipengaruhi oleh obat-obatan, hernia hiatus atau tekanan abdomen (karena kehamilan atau obesitas), maka paparan material refluks mungkin bertambah. Para peneliti juga telah menduga bahwa gangguan motilitas seperti relaksasi LES yang tidak tepat dan tertundanya pengosongan lambung adalah penyebabnya. 

Relaksasi LES dirangsang oleh penelanan ketika berfungsi dengan normal. Relaksasi LES dipengaruhi oleh fungsi batang otak yang diperantarai oleh nervus vagus. Dengan adanya GERD, gerakan peristaltik LES menghilang sedikit demi sedikit, sehingga menghilangkan penghalang untuk refluks. Pencetus umumnya terjadi relaksasi LES adalah konsumsi makanan seperti kaferin, alkohol, pepermin, makanan pedas atau makanan yang digoreng, coklelat dan tomat. Obat yang mempengaruhi fungsi LES meliputi antikolenergik, beta bloker, estrogen, progesterone, penghambat kanal kalsium dan nitrat. 

Faktor resiko GERD lainnya termasuk gaya hidup seperti alkoholisme, merokok, diet tinggi lemak dan obesitas juga kehamilan dan berbaring dengan posisi terlentang ketika lambung penuh. Penyebab tertundanya motilitas lambuang adalah gangguan endokrin (diabetes mellitus, hipotiroidesme) sementara gangguan autoimun (skleroderma dan gangguan neuromuscular (sclerosis multiple, penyakit Parkinson) berhubungan dengan dismotilitas esophagus. Usia dan jenis kelamin adalah variabel penting karena orang tua dan laki-laki memiliki 3 sampai 5 kali resiko lebih besar berkembangnya esophagus barret dan adenokarsinoma esophagus (Black & Hawks, 2014: 81).

TB PARU
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang sebagian besar disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut biasanya masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara yang dihirup ke dalam paru, kemudian kuman tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lain melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, melalui saluran pernapasan (bronchus) atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Notoatmodjo, 2011: 323).

Word Health Organization (WHO) memperkirakan setiap tahunnya terdapat sepertiga penduduk dunia terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan setiap tahunnya terdapat sekitar 9 juta orang positif terjangkit TB paru, dari jumlah tersebut sekitar 2 juta meninggal. Sebanyak 9 juta kasus TB tahunan, sekitar 1 juta (11%) terjadi pada anak-anak (di bawah 15 tahun) (WHO, 2015).

Prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan juga cukup tinggi. Berdasarkan laporan dari Ditjen PP & PL Kemenkes RI 2015 menunjukkan bahwa jumlah kasus baru TB paru BTA positif di Indonesia yang sudah dilaporkan saat ini mencapai 176.677 jiwa yang tediri dari 60,3% terjadi pada laki-laki dan 39,7% terjadi pada perempuan. Prevalensi tertinggi terjadi di wilayah Jawa Barat yaitu sebanyak 31.469 kasus dan terendah terjadi di wilayah Kalimantan Barat sebanyak 377 kasus. Sedangkan untuk wilayah Propinsi Lampung ditemukan sebanyak 5.109 kasus (Kemenkes RI, 2015).

DEFINISI


Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru-paru, disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini dapat juga menyebar ke bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal, tulang dan nodus limfe (Somantri, 2009: 67).

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang sebagian besar disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut biasanya masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara yang dihirup ke dalam paru, kemudian kuman tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lain melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfa, melalui saluran pernapasan (bronchus) atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Notoatmodjo, 2011: 323).

Hood Alsagaff (dalam Wijaya & Putri, 2013: 137) menyatakan tuberkulosis atau TB adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim paru. Tuberkolosis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh hasil mikrobacterium tuberkolusis yang merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan bagian bawah yang sebagian besar basil tuberkolusis masuk ke dalam jaringan paru melalui airbone infection dan selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai focus primer dari ghon.

 ETIOLOGI

Somantri (2009: 67) menjelaskan bahwa penyakit TB Paru disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri atau kuman ini berbentuk batang, dengan ukuran panjang 1-4 mm dan tebal 0,3-0,6 mm. Sebagian besar kuman berupa lemak/lipid, sehingga kuman tahan terhadap asam dan lebih tahan terhadap kimia atau fisik. Sifat lain dari kuman ini adalah aerob yang menyukai daerah dengan banyak oksigen, dan daerah yang memiliki kandungan oksigen tinggi yaitu apikal/apeks paru. Daerah ini menjadi predileksi pada penyakit tuberkulosis.
Sedangkan Notoatmodjo (2011: 323) mengungkapkan bahwa perjalanan atau patogenesis penyakit TB paru adalah implantasi kuman terjadi pada respiratory bronchial atau alveoli yang selanjutnya akan berkembang sebagai berikut:
a.        Fokus primer-kompleks primer-sembuh pada sebagian besar atau meluar-tuberkulosis primer.
b.       Dari kompleks primer yang sembuh terjadi reaktivasi kuman yang tadinya dormant pada fokus primer, reinfeksi endogen tuberkulosis pascaprimer penyebaran kuman dalam tubuh penderita dapat melalui empat cara, yaitu: lesi yang meluas, aliran limpa (limfogen), penyebaran milier, melalui aliran darah (hematogen) yang dapat menimbulkan tuberkulosis ekstra paru antara lain pleura, selaput otak, ginjal dan tulang.
 

 
BRONKITIS
Pembangunan kesehatan merupakan bagian terpadu dari pembangunan sumber daya manusia dalam mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera lahir dan batin. Berbagai transisi yang ada, baik transisi demografik, sosio-ekonomi maupun epidemiologi telah menimbulkan pergeseran-pergeseran, termasuk bidang kesehatan. Angka kematian menurun dan usia harapan hidup secara umum makin panjang, pola penyakit dan penyebab kematian telah berubah. Penyakit menular yang selalu menjadi penyebab kesakitan dan kematian utma mulai bergeser dan digantikan oleh penyakit tidak menular, salah satunya adalah penyakit pada saluran pernapasan yaitu bronkitis (Rinaldi, 2013).
Bronkitis adalah suatu peradangan bronkioli, bronkhus, dan trakhea oleh berbagai sebab. Bronkitis biasanya lebih sering disebabkan oleh virus seperti Rhinovirus, Respiratroy Syncitial virus (RSB), virus influenza, virus parainfluenza, dan coxsackie virus. Bronkitis akut juga dapat dijumpai pada anak yang sedang menderita morbilli (campak), pertusis (batuk rejan), dan infeksi Mycoplasma pneumoniae. Penyebab bronkhitis lainnya bisa juga oleh bakteri seperti Staphylococcus, Streptococcus, Pneumococcus, dan Haemophylus influenzae. Selain itu, bronkhitis dapat juga disebabkan oleh parasit seperti askariasis dan jamur (Muttaqin 2008: 117).

Menurut World Health Organization (WHO) bronkitis kronis merupakan jenis penyakit yang dekat dengan chronic obstructive pulmonary disease (CORD) ataupun penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Saat ini, penyakit bronkitis diderita oleh sekitar 64 juta orang di dunia. Penggunaan tembakau, polusi udara dalam ruangan/luar ruangan dan debu serta bahan kimia adalah faktor resiko utama (WHO, 2015).

Di Amerika Serikat prevalensi rate untuk bronkitis kronik adalah berkisar 4,45% atau 12,1 juta jiwa dari populasi perkiraan yang digunakan 293 juta jiwa. Sedangkan ekstrapolasi (perhitungan) tingkat prevalensi bronkitis kronik di Mongolia berkisar 122.393 orang dari populasi perkiraan yang digunakan adalah berkisar 2.751.314 juta jiwa. Untuk daerah ASEAN, negara Thailand salah satu negara yang merupakan angka ekstrapolasi tingkat prevalensi bronkitis kronik yang paling tinggi yaitu berkisar 2.885.561 jiwa dari populasi perkiraan yang digunakan sebesar 64.865.523 jiwa, untuk negara Malaysia berada di sekitar 1.064.404 dari populasi perkiraan yang digunakan sebesar 23.552.482 jiwa (Rinaldi, 2013).

Angka kejadian bronkitis di Indonesaia sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Namun, bronkitis merupakan salah satu bagian dari penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan dari keduanya (PDPI, 2013). Menurut Rinaldi (2013) di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta pasien PPOK dengan prevalensi 5,6%. Angka ini bisa meningkat dengan makin banyaknya jumlah perokok karena 90% pasien PPOK adalah perokok atau mantan perokok. Bronkitis adalah suatu peradangan bronkioli, bronkhus, dan trakhea oleh berbagai sebab. Bronkitis biasanya lebih sering disebabkan oleh virus seperti Rhinovirus, Respiratroy Syncitial virus (RSB), virus influenza, virus parainfluenza, dan coxsackie virus. Bronkitis akut juga dapat dijumpai pada anak yang sedang menderita morbilli, pertusis, dan infeksi Mycoplasma pneumoniae. Penyebab bronkhitis lainnya bisa juga oleh bakteri seperti Staphylococcus, Streptococcus, Pneumococcus, Haemophylus influenzae. Selain itu, bronkhitis dapat juga disebabkan oleh parasit seperti askariasis dan jamur (Muttaqin 2008: 117).

DEFINISI
Bronkitis akut adalah radang mendadak pada bronkus yang biasanya mengenai trakea dan laring, sehingga sering disebut juga dengan laringotrakeobronkitis. Radang ini dapat timbul sebagai kelainan jalan napas tersendiri atau sebagai bagian dari penyakit sistemik, misalnya pada morbili, pertusis, difteri dan tipus abdominalis. Bronkitis kronis menunjkkan kelainan pada bornkus yang sifatnya menahun (berlangsung lama) dan disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang berasal dari luar bronkus maupun dari bronkus itu sendiri. Bronkitis kronis merupakan keadaan yang berkaitan dengan produksi mukus takeobronkial yang berlebihan, sehingga cukup untuk menimbulkan batuk dengan ekspektorasi sedikitnya 3 bulan dalam setahun dan paling sedikit 2 tahun secara berturut-turut (Somantri, 2009: 57).

Bronkitis kronik didefinisikan sebagai adanya batuk produktif yang berlangsung 3 bulan dalam satu tahun selama 2 tahun berturut-turut. Sekresi yang menumpuk dalam bronkiolus menggangu pernapasan yang efektif. Merokok atau pemajanan terhadap polusi adalah penyebab utama bronkitis kronik. Pasien dengan bronkitis kronik lebih rentang terhadap kekambuhan infeksi saluran pernapasan bawah. Kisaran infeksi virus, bakteri, dan mikoplasma yang luas dapat menyebabkan episode bronkitis akut. Eksaserbasi bronkitis kronik hampir pasti terjadi selama musim dingin. Menghirup udara yang dingin dapat menyebabkan bronkospasme bagi mereka yang rentan (Smeltzer & Bare, 2002: 600).

ETIOLOGI


Terdapat tiga jenis penyebab bronkitis, yaitu sebagai berikut:
a.       Infeksi, seperti Staphylococcus, Sterptococcus, Pneumococcus, Haemophhilus influenzae.
b.      Alergi
c.       Rangsangan, seperti asap yang berasal dari pabrik, kendaran bermotor, rokok, dan lain-lain. Bronkitis kronis bisa menjadi komplikasi kelainan patologik yang mengenai beberapa organ tubuh, yaitu sebagai berikut:
1)      Penyakit jantung menahun, baik pada katup maupun miokardium. Kongesti menahun pada dinding bronkus melemahkan daya tahannya, sehingga infeksi bakteri mudah terjadi.
2)      Infeksi sinus paranasalis dan rongga mulut, merupakan sumber bakteri yang dapat menyerang dinding bronkus
3)      Dilatasi bronkus (broniektasis), menyebabkan gangguan pada susunan dan fungsi dinding bronkus sehingga infeksi bakteri mudah terjadi.
4)      Rokok, dapat menyebabkan kelumpuhan bulu getar selaput lendir bronkus sehingga drainase lendir terganggu. Kumpulan lendir tersebut merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
(Somantri, 2009: 58)

HERNIA
Hernia merupakan tonjolan yang keluar dari organ atau jaringan lain akibat adanya bukaan yang tak normal didalam tubuh. Kebanyakan hernia terjadi ketika ada sebagian usus yang keluar melalui diding perut yang lemah, sehingga terlihat tonjolan yang dapat dirasakan dan diraba. Hernia dapat terjadi di pangkal paha, pusar ataupun bagian lain. Ada hernia yang sudah muncul sejak lahir, ada juga yang berkembang dalam hitungan bulan atau tahun, tetapi ada juga hernia yang muncul tiba-tiba. (Medicastore, 2012: 2) 

Di beberapa negara maju dan berkembang di dunia tercatat bahwa hernia merupkan salah satu jenis penyakit yang memiliki angka kejadian cukup tinggi, seperti halnya tercatat di negara cina terdapat ribuan orang mengalami kejadian hernia, yakni sebesar 1,18% dari 300 juta jiwa (Luo Hongyu, 2012: 4), di Amerika Serikat pada tahun 2004 tercatat sebanyak 1 dari  544 orang mengalami hernia, atau sekitar 539.807 jiwa (0,18%) dari 293.655.405 jiwa (Admin, 2004: 1)  

Dari data Kementerian Kesehatan Indonesia menyebutkan bahwa berdasarkan distribusi penyakit sistem pencernaan pasien rawat inap menurut golongan sebab sakit pada tahun 2004, hernia menempati urutan ke-8 dengan jumlah 18.145 kasus, 273 diantaranya meninggal dunia. Dari total tersebut, 15.051 diantaranya terjadi pada pria dan 3.094 kasus terjadi pada wanita. Sedangkan untuk pasien rawat jalan, hernia masih menempati urutan ke-8. Dari 41.516 kunjungan, sebanyak 23.721 kasus adalah kunjungan baru dengan 8.799 pasien pria dan 4.922 pasien wanita (Erwin, 2004: 1)

DEFINISI 

Hernia adalah tonjolan keluarnya organ atau jaringan melalui dinding rongga dimana organ tersebut seharusnya berada yang didalam keadaan normal tetutup. (Jitowiyono & Kristiyanasari, 2010: 151)  

Hernia merupakan prostusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan. Pada hernia abdomen, isi perut menonjol melalui defek atau bagian lemah dari lapisan muskulo-aponeuroik dinding perut. Hernia teriri dari cincin, kantong dan isi heria. Berdasarkan terjadinya hernia dibagi atas hernia bawaan atau congenital dan hernia dapatan atau akuisita. (NANDA, 2013 : 201)  

Hernia inguinalis adalah kondisi penonjolan organ intestinal masuk ke rongga melalui dinding yang tipis atau lemah dari cincin inguinalis. Materi yang masuk lebih sering adalah usus halus, tetapi bisa juga merupakan suatu jaringan lemak (Muttaqin & Sari, 2011: 858).  

ETIOLOGI
a.       Faktor predisposisi :
1)      Defek atau kelainan berupa sebagian dinding rongga melemah.
2)      Lemahnya dinding akibat defek konginetal.
3)      Usia lanjut.
4)      Perubahan struktur fcisik dari dinding rongga.
b.      Faktor prespitasi :
Peningkatan tekanan intra adbomen.
           (Muttaqin & Sari, 2011 : 587)

PERITONITIS===
Penyakit infeksi sampai saat ini masih merupakan penyebab utama tingginya angka kesakitan dan kematian di dunia. Salah satu jenis infeksi yang sangat berbahaya diantaranya adalah peritonitis yang umumnya disertai adanya bacteremia dan sindrom sepsis. Peritonitis sendiri didefinisikan sebagai adanya peradangan pada peritoneum baik lokal atau difus (generalisata) dari lokasinya, akut atau kronik dari natural history, dan infectious atau aseptik dari patogenesisnya. Peritonitis akut umumnya bersifat infectious dan berhubungan dengan perforasi holoviskus (disebut sebagai peritonitis sekunder). Etiologi umum dari peritonitis sekunder, antara lain appendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum), perforasi colon (sigmoid) karena diverticulitis, volvulus, kanker, dan strangulasi (An-Huang, 2015). 

Angka kejadian peritonitis sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun yang pasti diketahui adalah diantara seluruh jenis peritonitis, peritonitis sekunder merupakan peritonitis yang paling sering ditemukan dalam praktik klinik. Hampir 80% kasus peritonitis disebabkan oleh nekrosis dari traktus gastrointestinal. Terdapat perbedaan etiologi peritonitis sekunder pada negara berkembang (berpendapatan rendah) dengan negara maju. Pada negara berpendapatan rendah, etiologi peritonitis sekunder yang paling umum, antara lain appendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum, dan perforasi tifoid. Sedangkan, di negara-negara barat appendisitis perforasi tetap merupakan penyebab utama peritonitis sekunder, diikuti dengan perforasi kolon akibat divertikulitis.  Tingkat insidensi peritonitis pascaoperatif bervariasi antara 1%-20% pada pasien yang menjalani laparatomi (An-Huang, 2015).

Definisi


Peritonitis adalah peradangan rongga peritoneum yang diakibatkan oleh penyebaran infeksi dari organ abdomen seperti apendisitis pancreatitis, rupture apendiks, perforasi/trauma lambung dan kebocoran anastomosis (Padila, 2012: 191).

Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum (lapisan membran serosa rongga abdomen) dan organ di dalamnya (Muttaqin & Sari, 2011: 513).  

Etiologi

Sedangkan Muttaqin & Sari (2011: 513) menjelaskan bahwa penyebab terjadinya peritonitis adalah invasi kuman bakteri ke dalam rongga peritoneum. Kuman yang paling sering menyebabkan infeksi meliputi gram negatif: Escherichia coli (40%), Klebsiella pneumoniae (7%), Pseudomonas species, Proteius species, gram negatif lainnya (20%), dan gram positif seperti Streptococcus pneumoniae (15%). Invasi kuman ke lapisan peritoneum dapat disebabkan oleh berbagai kelainan pada sistem gastrointestinal dan penyebaran infeksi dari organ di dalam abdomen atau perforasi organ pascatrauma abdomen.

LINK-KES

Sample Text

Blog Archive

Informasi Terkini

RADIO RODJA

Radio Sunnah


Text Widget